|
Nina Bobo yang Tak Kunjung Usai Muslimah & Media - Tuesday, 08 March 2005
kafemuslimah.com Alya membaca e-mail dari teman-temannya dengan galau. Bukan, bukan karena mereka terlibat perdebatan seru di sebuah milist yang diikutinya, melainkan karena topik yang tengah mereka perdebatkan.
Beberapa hari lalu Pemerintah dengan resmi mengumumkan kenaikan harga BBM di tanah air. Adalah sebuah rumus umum yang tak dapat dihindari bahwa naiknya harga BBM ini akan diikuti dengan kenaikan harga barang-barang lainnya. Dan ini berarti pe-er baru bagi ibu rumah tangga untuk mengutak-atik penghasilan yang tak bertambah, agar cukup untuk kehidupan sebulan.
Meskipun Pemerintah sudah memaparkan alasan yang melatarbelakangi kenaikan harga BBM, tapi pola pikir Alya tetap tak bisa memahami penjelasan yang sudah sedemikian panjangnya itu. Pun ketika ia membaca penuturan tentang dana kompensasi yang katanya akan dapat dinikmati oleh sekian juta penduduk miskin.
Seringkali Alya terheran-heran, ketika membaca berita tentang para wakil rakyat dan para petinggi begitu sibuk membicarakan besarnya uang kadeudeuh dan tunjangan ini-itu, yang selalu saja nilainya mereka anggap terlalu kecil. Pernahkah terlintas di benak mereka betapa sesungguhnya uang sebesar itu akan mencapai hitungan yang sangat tinggi bila dikumpulkan. Dan bukannya tak mungkin angka yang sangat tinggi itu bisa menggantikan dana kompensasi yang disebut-sebut. Hingga tak perlulah berkutat dalam lingkaran pengurangan subsidi – menaikkan harga – mengalihkannya ke dalam dana kompensasi. Bukankah kenaikan harga barang-barang di pasaran hanya akan membuat kehidupan rakyat miskin makin terhimpit..?
Lalu akankah penarikan subsidi secara perlahan-lahan ini membuat jera para oknum yang melakukan penyimpangan ataupun penyelundupan? Rasa-rasanya Alya tak yakin. Seandainya saja hukum memang benar-benar ditegakkan, maka hukumlah yang akan membuat mereka jera.
Masih di milist yang sama seorang teman bercerita tentang besarnya biaya yang harus dia keluarkan untuk mengurus pindah sekolah keempat orang anaknya. Teman yang dua tahun lalu baru pulang dari Negeri Kangguru itu terpaksa mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk urusan pindah sekolah ini. Menyebalkan memang, tapi bila tak demikian anak-anaknya akan terkatung-katung tanpa kepastian.
Hhh…Alya menghela napas panjang. Terbayang jika ia kembali ke tanah air nanti, persoalan-persoalan seperti itu tak mustahil akan menimpanya. Mungkin benar ucapan temannya yang mengatakan bahwa di Jepang sini mereka hidup di alam mimpi. Meskipun hanya mengandalkan beasiswa yang diterima suaminya, tapi ia merasa bisa hidup layak. Ditunjang dengan berbagai kemudahan fasilitas umum yang memberinya kenyamanan. Tak putus-putus Alya bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan Allah SWT kepadanya.
Sejujurnya Alya tak ingin berkutat dengan pemikiran negatif terhadap segala kebijakan dan keputusan Pemerintah. Namun kenyataan yang terpampang di hadapan seringkali begitu telak menampar wajahnya. Hingga rasa percaya yang telah ia bangun untuk mereka yang bernama Pemerintah, perlahan mulai terkikis. Duh…sampai kapan ia dan berjuta-juta rakyat di tanah air harus berharap untuk terwujudnya tingkat kesejahteraan yang merata. Agar ia tak lagi meneteskan air mata untuk mereka yang terpaksa putus sekolah karena orangtua mereka tak mampu lagi membayarkan rupiah yang dimiliki. Agar ia tak lagi merasakan perih ketika mendengar mereka yang menderita sakit tak mampu membayar biaya pengobatan yang sangat mahal…
Bagi Alya pernyataan-pernyataan para petinggi itu tak ubahnya lagu Nina Bobo yang tak kunjung usai. Membuai terbang ke alam mimpi, dan masih tetap mengalun disaat ia terjaga. Aah..andaikan saja para petinggi itu mewarisi sikap Umar bin Khatab…
Di luar sana salju belum juga reda. Alya termangu menghitung hari. Akhir bulan ini ia bersama suami dan anaknya harus kembali ke tanah air. Tapi, entahlah… tiba-tiba saja ia merasa enggan untuk pulang.
(Bumi Sapporo 04032005, Bunda Iyan)
[ 0 komentar]
|
|