|
Bagaimana Seseorang Itu Dikatakan Telah dzolim Uneq-Uneq - Saturday, 23 April 2005
Tanya: ass.wr.wb. Mbak AdeAnita, lansung saja ya. Aku punya masalah. Bagaimana orang itu bisa dikatakan mendzolimi orang lain? Apakah kalau saya tidak ingin sekamar dengan sepupu saya(cewek)saya dikatakan mendzolimi dirinya? Soalnya saya termasuk orang yang suka menyendiri. Jika di rumah , saya menganggap bahwa kamar adalah ruangan yang pertamakali saya tuju. Dan saya tidak suka jika ada orang lain yang mengganggu privacy saya untuk beristirahat atau belajar dengan kehadirannya atau dengan curhat-curhatnya yang membuat saya tambah pusing. Walaupun awalnya saya sekamar sama dia, sekarang dia sudah dipindah dikamar yang lain. Walaupun dia tidak mengeluh , tapi kadang kadang ada perkataan yang menyinggung tentang kamar. bagaimana ini mbak? Sampai sini saja pertanyaanya. Sebelumya saya ucapkan syukron.
Wss.wr.wb.
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kata asal dari Dzolim, dari sebuah buku yang saya baca, berasal dari zhulm dalam istilah Al Quran, yang berarti “gelap”, dan orang yang berbuat dosa disebuh zhalim, “orang yang melakukan kegelapan.
Ada juga ustadz yang mengatakan bahwa zhalim artinya mengambil hak. Artinya, hak yang seharusnya dimiliki oleh orang lain, tapi kita rebut atau kita ambil sehingga orang lain tersebut kehilangan haknya atas sesuatu tersebut.
Lalu jika ditanyakan, bagaimana orang itu dikatakan mendzolimi orang lain? Mungkin lebih baik kita lihat kasus per kasus, dimana dari kasus tersebut kita bisa mempertimbangkan, apakah perbuatan tersebut menyinggung dua hal seperti yang terdapat di definisi yang sementara ini kita sepakati tentang zhalim atau tidak.
Yang harus diingat adalah, jangan terlalu cepat untuk memberikan “cap” zhalim pada orang lain ataupun pada diri sendiri. Karena jika ternyata cap itu salah alamat, maka jika terkena pada orang lain, artinya kita sudah melakukan fitnah sedangkan jika terkena pada diri sendiri artinya kita sudah menaruh sebuah prasangka buruk di hati kita (berbuat zhalim pada diri sendiri).
Lalu bagaimana dengan kasus yang ukhti alami?
Jika saya baca, sebenarnya ada satu hal yang menjadi permasalahan dasar yang ukhti miliki. Yaitu, kecenderungan ukhti untuk menyendiri.
Memang karakter manusia itu bermacam-macam. Ada yang intropert (tertutup) dan ada juga yang ekstropert (terbuka). Ada yang periang, ada juga yang tenang. Ada yang luwes dan supel, tapi ada juga yang pemalu dan pendiam. Ukhti sendiri, jika membaca dari email ukhti, rasanya memang dari sononya tidak memiliki karakter periang, supel, serta ekstropert.
Sifat ukhti ini tidak salah (yah, mau salah gimana kalau memang sudah dari sononya begini?). Tapi, agar orang lain tidak salah persepsi atau menimbulkan mis komunikasi dengan orang lain, maka tidak ada salahnya untuk melatih kemampuan mengkomunikasikan apa yang ukhti inginkan pada orang lain. Jangan diam saja.
Misalnya, ukhti tidak ingin sekamar dengan saudara ukhti, maka katakanlah pada dia secara terus terang, bahwa ukhti lebih senang untuk sendiri saja menempati kamar karena bagi ukhti kamar adalah tempat satu-satunya untuk mendapatkan privacy. Jelaskan pada dia dengan ramah dan senyum, bahwa ukhti adalah tipe orang yang penyendiri dan amat menghargai sebuah privacy yang bisa ukhti miliki. Yah… katakan saja sembari ngobrol. Insya Allah dia akan mengerti. Ukhti juga bisa minta bantuan dari orang tua (ibu mungkin) atau saudara ukhti yang lain (kakak misalnya) untuk ikut menjelaskan keinginan dan sifat ukhti ini pada saudara tersebut.
Lalu apakah hal ini berarti ukhti telah berbuat dzalim pada saudara ukhti tersebut? Hmm. Menurut saya tidak juga sih. Karena dalam hal ini, status saudara ukhti adalah menumpang dan ukhti pemilik rumah. Jadi, ukhti lebih memiliki hak untuk memilih ruangan mana yang akan ukhti tempati dan dengan siapa ukhti akan menempatinya. Terlebih memang ada ruangan lain bagi dia di rumah ukhti selain kamar ukhti. Kecuali, jika tidak ada ruangan lain selain kamar ukhti yang bisa dia tempati untuk menumpang. Maka otomatis dia punya hak sebagai tamu yang harus dihormati.
Itu yang pertama (dan ini berlaku juga jika suatu saat datang saudara lain yang ingin tinggal di rumah ukhti juga). Yang kedua, cobalah untuk ramah dan tidak memutus silaturahmi dengan orang lain. Jadi, jika ukhti tidak ingin sekamar dengannya dan dia sudah pindah kamar, jangan sampai hal ini membuat ukhti juga jadi kian jarang bersilaturahmi dengan dia. Jika sempat untuk bertemu, sapalah. Jika sedang ada di rumah, hampirilah dia untuk bercakap-cakap barang sedikit. Berikan dia sesekali buah tangan (nggak perlu yang mahal-mahal) untuk menyenangkan hatinya.
Nah. Yang terakhir, menyendiri boleh-boleh saja, tapi jangan sampai hal ini membuat ukhti jadi sering menyimpan dugaan negatif dalam hati terhadap orang lain. Teruslah berusaha memelihara prasangka baik pada orang lain atau diam, tidak menyimpan prasangka apapun. Dengan demikian, insya Allah kita tidak mengartikan hal yang berbeda terhadap apa yang kita dengar atau kita hadapi. Bisa saja dia menyinggung masalah kamar sesekali dalam pertemuan atau perbincangan maksudnya bukan untuk menyindir ukhti tapi justru bermaksud baik untuk mengingatkan ukhti karena tahu ukhti amat menyukai kamar ukhti. Allahu’alam. Saya pikir berprasangka baik itu sama sekali tidak merugikan siapapun sedangkan berprasangka buruk malah membuat kita menaruh noda di dalam hati kita.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|