|
Mengapa Allah Memberi Solusi Sesuatu Yg Dia Benci Uneq-Uneq - Saturday, 23 April 2005
Tanya:Assalamu'alaiku mbak ade..
Saya berumur 43 tahun.. mempunyai 2 anak (putra dan putri). Saya sudah bercerai dengan suami pertama saya tahun 1997, pada awalnya anak2 diasuh oleh bapaknya, namun Alhamdulillah sekarang anak2 sudah dibawah pengasuhan saya.. Hubungan saya dan mantan sangat baik.
Saya menikah kedua kalinya di tahun 2000 dengan duda. Pada perkawinan ini saya sangat mengidam2kan menjadi istri yang solechah, mengabdi kepada suami. Sehingga saya berhenti bekerja untuk meladeni suami saya, yang notabene dia bekerja mempunyai kantor dan usaha sendiri. Karenanya waktu tidur terkadang baru sesudah subuh dan bangun sebelum dzuhur. Saya mempertimbangkan andaikata saya masih bekerja, waktu saya untuk bertemu suami sangatlah minim.
Mbak Ade, perkawinan kedua saya pun kandas. Banyak sekali persoalan yang mengganggu terutama adanya pihak ke 3 yang selalu mengganggu dan selalu memicu pertengkaran. Sampai suatu ketika suami saya menyatakan cerai. Dan katanya keputusan ini karena dia telah shalat istiqarah dan jawaban melalui mimpi bahwa saya berada di perahu lain.
Pertanyaan saya mbak, mungkinkah hal tersebut terjadi, sedangkan Allah sangat membenci perceraian. Apakah Allah memberi jawaban melalui mimpi untuk makhluknya supaya melakukan sesuatu yang Ia benci?
Mohon jawaban Mbak Ade.
Wassalam
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ukhti Yang Dirahmati Allah SWT
Menjadi seorang istri yang sholehah, tentu merupakan sesuatu yang ingin diwujudkan oleh seluruh wanita muslimah dimana pun dia berada saat ini. Ini merupakan sebuah sunnatullah (hal yang bersifat alami dari sananya ^_^). Saya senang jika mendengar seorang wanita memiliki cita-cita menjadi seorang istri yang sholehah, karena menurut saya inilah cita-cita yang amat sangat mulia.
Jalan menuju seorang istri yang sholehah itu, harus dipahami dahulu, tidaklah merupakan sebuah jalan lurus yang sempit, berliku, dan penuh hambatan. Tidak. Jalan yang bisa kita tempuh untuk menjadi seorang istri yang sholehah itu, merupakan jalan yang amat luas dan penuh rahmat. Yaitu jalannya para wanita yang sesuai dengan gambaran Rasulullah SAW sebagai wanita yang kelak akan memperoleh separuh pahala jihad hanya karena berusaha menjadi istri sholehah dan mereka yang insya Allah akan menjadi penghuni surga.
Siapa mereka? Yaitu wanita yang senantiasa menjaga dirinya agar dicintai dan mencintai Allah SWT, dengan jalan mencari keridhaan Allah semata. Adapun dia (istri sholehah) ini, karena besarnya rasa cintanya pada Allah dan keinginan dirinya yang amat besar untuk mendapatkan keridhaan Allah, maka dia berusaha untuk senantiasa menjaga harta suaminya, senantiasa berusaha untuk menyenangkan hati suaminya, selalu berusaha untuk pandai bersyukur dan bersabar, berusaha untuk menjadikan dirinya agar dapat menjadi madrasah bagi anak-anaknya, mengupayakan agar dirinya bermanfaat bagi orang lain yang ada di sekelilingnya, dan sebagainya. Ada banyak sekali hadits dan ayat-ayat Al Quran yang membahas tentang masalah ini.
Dengan demikian, titik dasarnya adalah, bermula dari niat mencari keridhaan Allah semata. Bukan karena seseorang, juga bukan karena sesuatu.
Bagaimana caranya? Mau menjadi istri sambil bekerja di luar rumah guna menambah pendapatan keluarga, silahkan. Mau full time sebagai ibu rumah tangga saja, juga nggak masalah. Bahkan mau bekerja part time sembari menjadi ibu rumah tangga pun no problem. Mau tinggal bersama orang tua, sumonggo. Mau tinggal di rumah sendiri juga dipersilakan. Terserah, sesuaikan dengan kondisi masing-masing keluarga yang tentunya berbeda-beda. Yang penting adalah, niat awalnya tidak berubah atau bergeser.
Jadi, kalau ukhti ketika menikah memutuskan untuk berhenti bekerja karena ingin menjadi istri yang sholehah, silahkan. Tapi kalau memutuskan tidak pun mungkin tidak apa-apa. Karena yang penting adalah niat ukhti ketika berhenti bekerja itu adalah ingin mencari keridhaan Allah semata dengan cara menjadi istri yang sholehah dengan cara full time ibu rumah tangga.
Hmm… jadi bertanya kan, lalu apa bedanya dengan yang ukhti lakukan sebelum ini?
Bedanya, seseorang yang melakukan sesuatu dengan niat untuk mencari keridhaan Allah, maka dia tidak peduli lagi dengan apapun yang dia terima dari orang lain sebagai balasan dari yang telah dia lakukan.
Jika dia membantu, dia tidak peduli apakah orang yang dia bantu itu akan membalas bantuannya dengan hal yang sama baiknya atau tidak.
Jika dia memberi, dia tidak lagi menunggu apakah pemberiannya itu akan dibalas dengan pemberian yang setimpal ataukah tidak.
Jika dia berbuat kebajikan, dia tidak peduli apakah orang yang menerima kebajikannya akan berterima kasih padanya ataukah tidak.
Karena yang dia inginkan adalah rasa cintanya pada Allah senantiasa bersemi indah di hatinya.
Karena yang dia ingin raih dalam hal ini adalah cinta Allah. Apapun akan dia lakukan untuk mendapatkan cinta Allah, untuk dapat menjadi kekasih Allah.
Adapun pahala atas kebajikan yang dia lakukan adalah buah yang memang otomatis akan dia dapati karena itulah, dia tidak lagi mempermasalahkan seberapa lebatkah buah itu memenuhi kebunnya.
Sedangkan balasan duniawi, seperti namanya menjadi terkenal karena kebaikan hatinya, atau dia jadi memperoleh banyak teman dan kawan karena sifat sosialnya, atau dia menjadi dihormati orang karena orang menaruh penghargaan atas usahanya, semua itu baginya merupakan bonus. Tidak usah diperhitungkan lagi dan tidak pernah dia kejar.
Nah. Sekarang, coba kita renungkan kembali apa yang telah terjadi di masa yang lampau (merenung yah, bukan mengingat dan meratapi/menyesali). Apakah dengan berhentinya ukhti bekerja dan memilih full time sebagai ibu rumah tangga tersebut, disertai juga dengan tuntutan dan harapan agar suami menghargai pilihan tersebut dan memberikan penghargaan tertentu karenanya? Apakah keinginan ini disertai dengan keikhlasan yang membuat ukhti tidak lagi memiliki penyesalan atas pilihan yang telah dilakukan? Ikhlas yang membuat ukhti tidak lagi mengungkit dan membanding-bandingkan apa yang ukhti dapat dahulu dan sekarang? Apakah keikhlasan itu telah melahirkan sebuah sikap optimis baru dalam menjalani tugas keseharian ukhti? Apakah pilihan tersebut tidak menimbulkan reaksi lain dari dalam diri ukthi, seperti jadi merasa kesal, merasa diri tidak berguna, merasa tidak beruntung dan sial, dsb. Ikhlasnya benar-benar ikhlas nggak sih, itu mungkin kalimat pendeknya.
Menjadi istri yang sholehah itu, bukan berarti menjadi istri yang patuh 100% pada suami tapi juga bukan berarti menjadi istri yang keras kepala dan keras hati.
Menjadi seorang istri dimana suami senang memandangnya itu bukan berarti harus senantiasa tampil seksi di depannya. Bisa jadi istri dimana suami senang memandangnya itu adalah menjadi istri yang menduduki posisi seorang teman dan sekaligus kekasih yang selain bisa mendengar juga bisa menjadi “partner” yang memberi support, memberi masukan untuk berkembang, sekaligus memberi solusi ketika bertemu jalan buntu. Ketika yang satu menangis, maka yang lain menghibur; ketika yang satu terpuruk, maka yang lain mencoba untuk mengajaknya bangkit. Ketika yang satu merasa lelah, maka yang lain bersedia meminjamkan pundak untuk disandari. Dan akhirnya, ketika matahari pagi bersinar cerah, berdua bisa saling berpegang tangan menikmatinya penuh dengan rasa syukur bersama.
Menjaga harta suami itu bukan berarti memasukkan semuanya ke dalam tabungan yang aman. Tapi mampu mengelolanya dengan baik dan penuh amanah, tidak boros juga tidak pelit, pandai mengingatkan untuk tidak hanya memikirkan harta dunia tapi juga harta untuk di akherat.
Menjadi madrasah bagi anak bukan berarti harus berprofesi sebagai guru, tapi bisa menjadi teman untuk perkembangan jiwa anak, mengisi kebersamaan dalam hari-hari anak untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang banyak hal dan menjaganya agar tidak dimasuki dengan ajaran yang mengajak ke arah kesesatan.
Dengan kata lain, cobalah untuk melihat lebih dalam lagi apa yang tertulis sebagai teks bukan hanya dengan penglihatan, tapi juga dengan hati dan akal, jika memahami sesuatu yang tersurat (dalam hal ini teks yang tersebar di hadits dan ayat Al Quran yang menceritakan tentang menjadi wanita sholehah).
Untuk apa semua hal panjang lebar di atas dilakukan? Tak lain dan tak bukan, semata untuk mencari keridhaan Allah. Agar diri ini senantiasa dicintai dan mencintai Allah dan agar seluruh anggota keluarga yang lain pun demikian adanya. Ini dasar dan ini yang menjadi patokan selamanya. Tidak boleh berubah dan tidak boleh bergeser.
Hmm… kita sama-sama belajar yah ukhti untuk mewujudkan hal tersebut. Saya sendiri juga masih terus belajar dan belajar kok.
Lalu bagaimana jika setelah segala sesuatu dilakukan tapi ternyata terjadi perceraian?
Sesungguhnya, perkawinan dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan ketentraman sosial bagi suami istri, anak-anak dan masyarakat secara keseluruhan. Maka perceraian (talak), yang memutuskan dan melenyapkan ketentraman sosial tersebut adalah perkara halal yang sangat dimurkai Allah. Tapi, terkadang, perceraian (talak) bisa saja menjadi solusi bagi suatu masalah yang tidak ada pemecahannya kecuali dengan perceraian. Tentu saja setelah sebelumnya ada usaha dari suami istri dan dua hakim di pengadilan agama berusaha untuk mengerahkan segala kemungkinan agar talak itu tidak terjadi.
Jadi perceraian dalam hal ini adalah pintu darurat yang justru disediakan Allah bagi hamba-Nya. Status darurat ini artinya, tidak bisa digunakan begitu saja jika memang kondisinya tidak darurat (merupakan pilihan terakhir). Jika ditanya, siapa yang salah? Bisa jadi keduanya salah, bukan salah satu. Mengapa keduanya? Karena sebuah perkawinan itu adalah sinergi dari dua belah pihak, bukan salah satu. Jadi, kegagalan bersinergi kedua belah pihaklah yang menyebabkan terjadinya perbedaan yang kian tidak bisa ditolerir lagi oleh keduanya.
Jika ditanyakan mengapa Allah memberikan solusi perceraian ini sebagai pilihan padahal Allah amat membencinya? Yah. Sekali lagi, ini merupakan pilihan terakhir. Jika kita melihat dalam Al Quran, sesungguhnya, Allah lebih menyenangi jika terjadi badai dalam sebuah keluarga, maka hendaklah kedua belah saling bersabar dan saling memaafkan.
”Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa: 19)
Tapi, terkadang sebuah hubungan yang melulu mengharuskan masing-masing pihak untuk terus bersabar justru membuat mereka meninggalkan hukum-hukum Allah yang lain. Bagaimana bisa shalat dengan tenang jika seorang suami terus merasa tidak tentram dengan perseteruan dengan istrinya? Bagaimana bisa menjalankan ibadah dengan ikhlas jika hati dipenuhi oleh rasa marah dan tidak senang? Belum lagi keikhlasan dan ketulusan yang dituntun ketika harus menjalankan kewajiban sebagai suami istri? Pada akhirnya, hubungan tersebut menjadi sebuah hubungan palsu, dimana dari luar suami istri tersebut berpura-pura untuk tampil harmonis tapi sebenarnya mereka berdua sudah seperti telur di atas tanduk. Kapan saja akan terguling lalu hancur. Hal ini bisa terlihat pada agama lain selain Islam yang melarang terjadinya perceraian.
Disinilah terlihat begitu Maha Adilnya Allah dengan ketentuan-Nya yang membolehkan terjadinya sebuah perceraian sebagai pintu darurat yang bisa diambil jika sebuah perkawinan hanya mendatangkan penderitaan bagi pasangan suami istri yang memang tidak cocok lagi. Itupun, dilakukan dengan sebuah ketentuan dimana meski terjadi perceraian maka tidak boleh terjadi tindak penganiayaan atau merendahkan martabat satu sama lain lagi setelahnya.
”Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan pada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (Al Baqarah: 229)
Tentang mimpi berada di dua perahu yang berbeda. Hmm… harus diingat bahwa bisa jadi, seseorang yang memang tidak diragukan lagi ketakwaannya pada Allah, bisa jadi akan memperoleh mimpi yang benar dari Allah. Tapi, dalam hal ini, sebagai manusia biasa, terkadang kita tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menafsirkan mimpi kita. Jadi, Allahu’Alam apakah arti dari mimpi tersebut menghendaki perceraian karena berada di perahu yang berbeda meski ada di laut yang sama ataukah meminta untuk bersabar meski berada di perahu yang sama karena yang harus dilihat itu adalah tujuan atau dermaga akhir yang sama (mencari keridhaan Allah). Dalam hal ini, penafsiran dari sebuah mimpi itu sering dipengaruhi dengan kehendak dari dalam dalam hati dan tersimpan di alam bawah sadar manusia. Karena dia menginginkan perceraian maka dia menafsirkan harus berpisah (bisa jadi ini akan menjadi obat dari ketidak nyamanannya untuk terus bersama sang istri). Dan sebaliknya, karena keinginannya untuk terus bersama maka dia menafsirkan bahwa mimpi itu merupakah peringatan dari Allah untuk terus bersabar dalam menghadapi ujian ketidak sesuaian yang datang.
Artinya, mungkin memang kalian berdua sebenarnya sudah merasakan ketidak cocokan yang tidak bisa lagi ditolerir dan ingin berpisah. Sehingga ketika sebuah mimpi datang sebagai jawaban dari shalat istikharah, maka penafsirannya pun sedemikian.
Allahu’alam. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui segalanya.
Demikian semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|