|
Tabir Walimah: Mau Pakai Tapi ditentang Keluarga Uneq-Uneq - Friday, 13 May 2005
Juga untuk ukhti yang bingung karena kakak dan calon suaminya (mengapa kakak dan calon suaminya belum menikah yah?) memaksa agar resepsinya dipisah, padahal ukhtinya sendiri keberatan. Tanya: Assalamua'alaikum Wr.Wb.
Mba Ade saya mau tanya bagaimana caranya meyakinkan keluarga besar untuk melaksanakan resepsi pernikahan sesuai dengan sunnah Rasul (pemisahan tamu ikhwan dan akhwat). Kondisi keluarga besar sangat keras, saya berasal dari keluarga Minang. Mohon bantuannya Mba Ade, tolong dijelaskan dengan disertai hadist dan contoh kasus di jaman Rasul, karena saya pernah mencoba tapi tetap belum berhasil. Syukron ya mba ade.
Wassalamua’alaikum wr wb
Jawab:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Baik. Dalam sebuah acara resepsi pernikahan, maka yang biasanya terjadi setelah acara akad nikah, sambutan dan hiburan adalah acara ucapan selamat dari para hadirin pada kedua mempelai lalu dilanjutkan dengan menikmati hidangan resepsi, dan acarapun selesai (tamu-tamu pulang). Nah, mari kita bahas hal-hal ini secara hati-hati.
Tentang Jabat tangan sehubungan dengan ucapan selamat
“Dari Abdullah bin Umar dikatakan bahwa Rasulullah saw tidak mau berjabatan tangan dengan kaum wanita pada waktu bai’at.” (HR Ahmad)
”Dari asma binti Yazid dikatakan bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabatan tangan dengan kaum wanita.”(HR Ahmad).
Dalil-dalil di atas adalah dalil kekhususan bagi Rasulullah saw. Sekarang lihat lagi yang berikut ini:
”Dari Rubayyi binti Mu’awwidz dikatakan: ‘Kami berperang bersama Nabi saw. Kami (bertugas) memberi minum kaum (para sahabat) dan melayani mereka.’ (Dalam satu riwayat disebutkan dan kami merawat orang yang terluka) serta mengembalikan orang yang terbunuh dan terluka ke Madinah.”(HR Bukhari)
”Dari Anas bin Malik dikatakan ada seorang hamba dari hamba-hamba perempuan warga Madinah membimbing tangan Rasulullah saw dan berangkat bersama Rasulullah saw kemana yang dia kehendaki.”(HR Bukhari)
“Dari Anas ra dikatakan sesungguhnya Ummu Sulaim menggelar sebuah hamparan dari kuliut untuk Nabi saw. Kemudian beliau tidur di atasnya. Anas berkata, “Dan ketika Rasulullah tidur, Ummu Sulaim mengambil keringat dan rambut beliau dan mengumpulkannya dalam sebuah bejana dan mencampurnya dengan minyak wangi, sedangkan Rasulullah masih tidur.” (HR Bukhari dan Muslim)
”Dari Anas r.a dikatakan bahwa Rasulullah saw masuk kepada Ummu Haram binti Milhan. Lantas dia menjamu makan Rasulullah. Ketika itu Ummu Haram di bawah (istri) Ubadah bin Shamit. Lalu Rasulullah masuk kepada wanita tersebut. Wanita tersebut menjamu makan Rasulullah dan menyisir rambutnya.”(HR Bukhari dan Muslim).
”Dari Abu Musa ra dikatakan bahwa Nabi saw mengutusku kepada suatu kaum di Yaman. Aku datang kepada Nabi ketika beliau sedang berada di Bath-ha’. Nabi bertanya kepadaku: “Bagaimana kamu bertalbiyah sewaktu melakukan ihram?” Aku jawab: “Aku mengucapkan talbiyah sebagaimana Nabi saw mengucapkannya.” Nabi bertanya: “Apakah kamu membawa hewan kurban?” Aku jawab, “Tidak.” Lalu Nabi menyuruhku thawaf. Aku pun thawaf sekitar Baitullah dan melakukan sa’I antara Safa dan Marwa. Kemudian Nabi memerintahkanku bertahallul, lalu aku bertahallul. Kemudian aku menemui wanita dari kaumku sendiri untuk aku minta bantuannya menyisir rambut kelapaku sekaligus membersihkannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari kedua kelompok nash-nash di atas, bisa dilihat bahwa yang pertama, Rasulullah saw menghindari jabat tangan (persentuhan) karena ingin menghindari situasi yang tidak diinginkan dari kegiatan persentuhan tersebut. Tapi pada kelompok kedua, Rasulullah tidak menghindarinya karena merasa situasinya aman dari fitnah pada sisi lain. Artinya, Rasulullah saw tidak merasa aman dari fitnah pada kondisi pertama bersama dengan wanita umum selain juga tidak ada alasan yang penting berjabatan tangan. Sementara beliau saw mendapat alasan yang patut pada kondisi kedua. Atau dengan kata lain, Rasulullah saw merasa aman dari fitnah bersama Ummu Haram, Ummu Sulaim dan sejumlah wanita lainnya.
Lalu bagaimana dengan acara jabat tangan antara kedua mempelai dan para tamu? Bagi mereka yang merasa bahwa pertemuan dengan beragam macam tamu tersebut akan membawa pada situasi yang membuat mereka tidak aman dari fitnah (bisa jadi mungkin karena yang diundang bukan cuma sanak saudara tapi juga teman-teman dan orang lain yang tidak diketahui; mungkin saudaranya anu dari pihak anu) mungkin pemisahan tamu memberi manfaat. Karena hal ini memungkinkan mempelai pria tidak bersalaman dengan tamu wanita yang siapa tahu mantan teman waktu kecil dan sekarang sudah besar, lebih cantik dan lebih ramah pula (hehehe, bercanda). Atau sebaliknya pada mempelai wanita. Juga untuk menghindari terjadinya situasi yang dimanfaatkan oleh orang lain yang ingin melakukan hal-hal yang tidak patut (oke, ini hanya gambaran yang terjadi di pedalaman Sumatra Selatan sana. Setiap kali ada resepsi pernikahan, maka para muda mudinya langsung membuat persiapan acara lain selain menghadiri acara resepsi tersebut, yaitu acara Besindo, yaitu ajang kencan. Tapi ini cuma contoh khusus yah, kurang jelas juga saya apa hal ini juga berlaku di daerah lain). Nah, untuk menghindari hal-hal yang tidak patut ini terjadi, maka pemisahan ikhwan dan akhwat memang dipandang perlu. Tapi kalau cuma dipisah sebatas tabir, rasanya kurang manfaat juga sih terus terang (saya pernah datang ke resepsi yang dipasang tabir, akhirnya tamu-tamunya setelah ambil makanan pergi ke halaman/teras dan berbincang-bincang disana campur baur, ruang dalam kosong dan lega). Masih di daerah Sumatra Selatan sana dan juga beberapa daerah lain di Jazirah Arab (kata teman-teman disana), akhirnya pemisahan malah dibuat dengan cara berbeda hari (jadi pestanya memang jadi dua hari, hari ini khusus untuk tamu pria, besok khusus untuk tamu wanita); atau bisa juga beda gedung/rumah. Rumah Uwak A untuk tamu pria dan rumah uwak B untuk tamu wanita. Kendalanya, tentu saja biaya dan tenaga yang ekstra. Kalau sudah gini, yah, harus rundingan dulu deh ama keluarga besar. Mungkin yang harus kita perhatikan adalah kemaslahatan yang lebih besar lagi.
Tentang Pemisahan Antara Pria dan Wanita
Sama halnya dengan asal mula pemikiran untuk memisahkan laki-laki dan wanita di zaman Rasulullah saw. Maksudnya adalah agar para pria dan wanita tidak harus berada dalam situasi yang berdesak-desakan. Berdempet-dempetan serta bertemu napas (atau pertemuan yang bisa membangkitkan syahwat). Juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
”Dari Ummu Salamah ra dikatakan bahwa apabila Rasulullah saw mengucapkan salam, kaum wanita langsung berdiri. Sementara ketika selesai mengucapkan salam, Rasulullah saw diam sejenak sebelum berdiri. Ibnu Syihah berkata, “ Menurutku (tapi Allah lebih tahu) diamnya Rasulullah tersebut dimaksudkan agar kaum wanita sudah habis pergi sebelum mereka bertemu dengan kaum laki-laki yang pulang.” (HR Bukhari)
“Rasulullah bersabda, “Bagaimana jika kita biarkan pintu ini untuk kaum wanita.” Setelah mendapati kaum wanita berdesak-desakan dengan kaum pria ketika keluar dari masjid.(hadits Shahih berdasarkan kesepakatan ulama)
Imam Sarakhsi berkata: “Kaum wanita tidak perlu mencium Hajar Aswad seandainya tempat itu terlalu ramai, sebab wanita dilarang menyentuh laki-laki dan berdesak-desakan dengannya. Jadi wanita tidak perlu mencium Hajar Aswad kecuali bila tempat itu sepi dari kaum laki-laki.”
Dari Umar ra dikatakan, Aku berkata, “Wahai Rasulullah, masuk ke tempatmu orang yang baik dan orang yang jahat, (bagaimana kalau) engkau perintahkan kepada ibu-ibu kaum mukminin untuk memakai hijab, maka turunlah ayat hijab.”(HR Bukhari)
Nah, sekarang, lihat lagi (bandingkan dengan) dalil-dalil berikut ini.
An Nasa’I meriwayatkan dari Amir bin Sa’ad, ia berkata:” Aku menjumpai Qurzhah bin Ka’a dan Abu Mas’ud al Anshariy pada suatu resepsi perkawinan. Kebetulan ketika itu kulihat beberapa orang gadis/budak perempuan sedang bernyanyi. Aku berkata: ‘Wahai sahabat-sahabat Rasulullah saw, dan para pejuang Badr., mereka berani melakukan perbuatan ini dekat kalian berdua!’ Kedua sahabat Nabi saw itu berkata:’Silakan duduk, dan kalau kamu mau, mari kita dengarkan bersama. Kalau tidak, kamu boleh pergi. Akan tetapi, Rasulullah saw telah memberikan keringanan pada kita untuk mendengarkan hiburan pada acara pernikahan.’” (Hadits Shahih menurut Syeikh Nashiruddin al-Albani)
”Dari Anas ra, dia berkata:” Nabi saw melihat kaum wanita dan anak-anak datang dari pesta perkawinan, lalu Nabi saw tegak berdiri seraya berkata: “Ya Allah, kalian adalah orang yang paling aku cintai.” Nabi mengulang ucapannya itu tiga kali. (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Sahal, dia berkata: “Ketika Abu Usaid as-Sa’idi menjadi pengantin, dia mengundang Nabi saw beserta para sahabat beliau. Maka tidak ada yang membuat makanan dan menghidangkannya pada mereka selain istrinya, Ummu Usaid, Dia telah merendam beberapa biji kurma di dalam satu bejana kecil yang terbuat dari batu pada malam harinya. Tatkala Nabi saw selesai makan, Ummu Usaid menghancurkan kurma tersebut, lalu menuangkannya sebagai hadiah khusus untuk Nabi saw.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari kedua kelompok hadits-hadits tersebut, ada gambaran tentang penyelenggaraan pesta. Yaitu, dibolehkannya pria dan wanita saling bertemu dalam sebuah acara resepsi perkawinan. Dengan catatan kondisi ini tidak membuat mereka menjadi berdesak-desakan dan akhirnya terjadi sentuhan-sentuhan yang bisa menimbulkan syahwat. Jika kondisi yang terakhir dikhawatirkan akan terjadi maka hijab lebih baik diberlakukan.
Allahu’alam.
Perkawinan adalah sebuah peristiwa untuk mengabarkan pada orang ramai bahwa telah resmi bersatu dua keluarga besar karena menikahnya anak-anak mereka. Orang tua dalam hal ini tentu saja merupakan pihak yang amat gembira dan ingin mengabarkannya pada sanak saudara dan handai taulan mereka. Dalam acara tersebut pulalah, terjadi silaturahmi antara para anggota keluarga besar yang bisa jadi selama ini jarang berjumpa juga ajang jumpa antar teman akrab. Mungkin karena tempat yang berjauhan, waktu yang padat, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti inilah bisa dimengerti jika pihak keluarga amat keberatan jika para tamu dipisahkan.
Bayangkan jika si Fulan adalah orang lain, istrinyalah yang jadi saudara keluarga besarmu. Mereka baru saja menikah dan jarang pula bersua. Jika dipisah dengan cara benar-benar bertabir rapat, tentu si Fulan akan risih berada di acara resepsi pernikahanmu. Siapa yang mau diajak bicara, apa kedudukan orang tua yang ada di hadapannya (panggil Paman, Kakek, atau Uda?), dan sebagainya.
Atau jika sebuah keluarga punya beberapa anak yang masih kecil, mereka tentu sulit memikirkan siapa ikut siapa. Terlebih dalam keluarga besar, biasanya satu undangan itu dianggap untuk satu keluarga besar. Jadi yang datang bukan cuma fulan dan istrinya fulanah, tapi juga anak-anak mereka, nenek, paman, om, tante dan keponakan. Nah, kalau si nenek sudah jompo sementara anak-anak mereka putri semua dan masih balita dan fulanah sedang mengandung tua, apakah si fulan sebagai suami tega membiarkan istrinya yang sedang mengandung besar memapah si nenek sambil menggandeng putri-putri balita mereka masuk ke sisi yang berbeda? Mungkin ini yang ada di benak keluarga besarmu. Masalah-masalah tersebut tentu saja sulit untuk dimengerti oleh keluarga besarmu penyelesaiannya. Bukan karena mereka keluarga keras dan orang Minang, tapi yah karena mereka tidak terbiasa saja dengan hal tersebut dan hal ini bisa menimpa siapa saja, tak peduli suku dan golongannya.
Di Arab sana sendiri (kebetulan saya punya beberapa teman yang memang orang sana), mereka mengatakan bahwa pemisahan tersebut dilakukan bukan hanya di acara resepsi saja (dan pemisahannya benar-benar pisah ruangan dan waktu). Tapi juga di acara-acara lain seperti sekolah, kendaraan umum, toko, pintu masuk gedung, dan sebagainya. Bahkan, bukan cuma dipisah agar kaum pria dan kaum wanita tidak bertemu, pemakaian alat potret dan video cam-pun tidak diperkenankan jika tujuannya untuk diperlihatkan pada tamu atau orang lain setelah acara selesai. Artinya, sebuah pemisahan tidak dipertanyakan lagi karena memang sudah sebuah kebiasaan sehari-hari. Karena sudah menjadi kebiasaan, jadi pembagian tugas siapa mengasuh dan siapa menghadiri sudah tidak ditanyakan lagi. Otomatis saja, kalau ada undangan, maka si suami berangkat dulu (biasanya undangan untuk pria lebih pagi mengingat istri jika pagi lebih banyak urusan) dan istri menunggu di rumah, nanti siangnya baru si suami pulang, gantian dia menjaga anak dan istrinya menghadiri undangan.
Jadi ukhti, memang harus dibicarakan baik-baik dulu tehnisi pelaksanaannya nanti di lapangan itu seperti apa. Beri gambaran pada keluargamu jika kamu memang ingin acara resepsimu diadakan pemisahan. Berapa pembagian kursi dan makanan untuk tamu ikhwan dan akhwat (ingat, adil itu bukan berarti sama persis, tapi adil adalah proporsional. Dalam hal ini, coba ingat-ingat, kalau lagi ada acara kumpul-kumpul, anak-anak biasanya ikut siapa, ibu atau bapak? Keluargamu lebih banyak kaum wanitanya atau prianya sih? Terus gimana kalau ada kasus satu keluarga bawa nenek jompo dan istrinya sedang mengandung serta punya balita? Lalu jika ada anak perempuan yang nggak mau lepas dari tangan ayahnya, boleh nggak ikut ke ruangan sisi ayah dan begitu sebaliknya.) Lalu bagaimana jika ada anggota keluarga baru dari jenis kelamin berbeda yang ingin diperkenalkan oleh orang tuamu pada keluargamu (biasanya, acara resepsi itu memang jadi ajang silaturahmi antar anggota keluarga, persis seperti acara silaturahmi Hari Raya), boleh nggak keluar dari tabir? Terus gimana dengan acara photo-photo kenangan dnegan anggota keluarga, apa harus tetap dalam keadaan terpisah? Terus gimana acara pemberian ucapan selamat pada kedua mempelai? Dan sebagainya. Pendek kata, semua hal-hal teknis lapangan yang sekiranya meragukan keluargamu harus mampu kamu jelaskan bagaimana solusinya. Jika kamu berhasil menjelaskannya dengan cerdas, insya Allah keluargamu akan mengerti dan mengijinkan pelaksanaan walimah dengan tabir ini.
Baru-baru ini saya ada datang ke sebuah acara pernikahan yang kebetulan teman saya itu juga berasal dari Minang. Menurut saya cara yang dia lakukan termasuk sebuah “Win-Win Solution”. Di satu pihak, tetap ada pemisahan ikhwan dan akhwat, tapi disisi lain keluarga tidak terlalu merasa disisihkan pendapat dan kehendaknya. Yaitu, ruangan gedung tetap dibagi dua, satu untuk ikhwan satu untuk akhwat. Tapi pemisahannya tidak ketat (maksudnya pakai tabir penuh). Pemisahan dilakukan dengan menggunakan meja hidangan dan tanaman penghias dekorasi tata ruang. Jadi, anak laki-laki balita yang biasa lengket dengan ibunya, tidak terlalu panik dipisahkan dengan ibunya, begitu juga dengan anak perempuan yang biasa manja dengan ayahnya tidak merengek karena tidak bisa melihat wajah sang ayah. Mereka masih bisa saling mencari dan saling menenangkan.
Atau tamu yang tidak punya HP (handphone) untuk menghubungi pasangannya guna bertanya, “Eh, dah makan belum? Mau pulang jam berapa nih?” bisa tetap saling mencari pasangannya dan memberi kode, “Cobain Asinannya deh, enak deh.” (dengan begitu keduanya tetap merasa nyaman, terutama jika salah satu di antara mereka tidak kenal siapapun karena masih pengantin baru misalnya).
Sekarang, beberapa penyelenggara acara walimahan punya paket-paket pemisahan ikhwan-akhwat yang menarik kok. Seperti menggunakan dekorasi pemisahan dengan cara mengatur pohon kelapa mini dari plastik, bunga-bungaan, pagar-pagaran yang cantik, bahkan ada juga yang memakai dekorasi kain-kain tile yang dihias dengan pita-pita cantik.
Ada juga teman saya yang tidak dipisah resepsinya. Jadi semua tamu pria dan wanita berbaur jadi satu karena dia memang berasal dari keluarga besar. Lalu, dia menggunakan sarung tangan dan pernik hiasan dari topi pengantin yang dikenakannya (ukhti tahu nggak baju pengantin Betawi? Nah, ada tabir berbentuk untaian tabir rantai tipis yang menutupi wajah pengantin wanita Betawi). Sopan dan menurut saya sih, Islami. Allahu’alam.
Bagaimana menurut ukhti?
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita
[ 0 komentar]
|
|