[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Jika Diskusi Berbuah Kehancuran
Uneq-Uneq - Friday, 27 May 2005

Tanya: assalamuálaikum wr.wb. Mbak Ade Anita, Saya ingin menanyakan beberapa hal. Ceritanya begini:

Suami istri sering berdiskusi mengenai masalah agama mulai dari masalah istri yang menolak ajakan suami untuk berhubungan suami istri, masalah kepemimpinan wanita dalam Islam sampai masalah talak. Suami mengatakan laki-laki mudah /mempunyai hak untuk menjatuhkan talak, talak1, talak2, talak3. Lalu suami mengatakan, misalnya saya katakan, “saya ceraikan kamu”. Istri mengatakan “tidak mengerti”. Lalu beralih ke diskusi tentang topik lainnya.

Lalu istri menanyakan kepada suami (kembali ke diskusi tentang cerai) maksud dari kata-kata cerainya tadi, suami mengatakan ia hanya mencontohkan (illustrasi) saja dan kata-kata tersebut tidak ditujukan pada istrinya.

Pertanyaan saya, Apakah ini berarti telah jatuh talak? Kalau ya talak berapa? Bolehkah rujuk?

Karena belum yakin (dengan jawaban suaminya) istri menanyakan lagi pada suaminya stelah lebih kurang 2 minggu setelah itu. Istri mengatakan, “Saya sulit melupakan diskusi kita dulu dan kadang sulit menghilangkan pikiran-pikiran buruk (tentang isi diskusi tentang perceraian tersebut). Bagaimana cara menghilangkan pikiran buruk itu?”
Suami menjawab, “ya terserah.”
Kemudian istri menanyakan (pada suaminya) “apa maksud terserah?”
Suami menjawab “Adek yang lebih tau”,
Kemudian istri bertanya lagi “apa maksud terserah?”
Suami menjawab “adek yang lebih tau.”
Istri berkata “adek tergantung abang, apakah adek
masih istri abang?”
“ya, dunia akhirat, insyaallah.” kata suami.

Pertanyaan saya, Bagaimana dengan kasus ini? Apakah jatuh talak? mohon penjelasan dan sangat ditunggu.
Terimakasih banyak

wassalam

Jawab:

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sehabis membaca email dari ukhti, saya memerlukan diri untuk membacanya beberapa kali lagi dan pada akhirnya mengelus dada setelah memahami apa yang terjadi dalam gambaran email tersebut.

Terus terang, saya amat marah pada istri yang ada dalam paparan email tersebut. Apa yang dia lakukan merupakan sebuah kekejian yang akan menyeret dia pada sebuah kehancuran yang sesungguhnya amat sangat tidak dia inginkan untuk terjadi pada dirinya.

Sebelum saya menjelaskan mengapa pendapat saya seperti demikian, maka saya akan katakan bahwa insya Allah tidak jatuh thalak dalam kasus seperti tersebut di atas. Diantara salah satu syarat-syarat sahnya sebuah thalak adalah sebagai berikut:
“Dengan niat yang jelas, Bukan semata-mata lintasan pikiran, tidak dalam keadaan terlalu marah, bukan karena khilaf, lupa, terpaksa, mabuk atau gila.”
Hadits-hadits yang menjadi landasan hukumnya dan penjelasan panjang lebar tentang thalak itu sendiri, bisa dilihat di penjelasan saya ketika menjawab uneg-uneg dengan judul “Cari Saja Suami Lain” yang ditayangkan di rubrik uneg-uneg ini pada tanggal 10 juni 2003 (lihat arsip di rubrik uneg2 di situs kafemuslimah.com ini).

Larangan Untuk Banyak Bertanya Yang Tidak Perlu

Dari Al Quran dan Hadits, kita bisa mendapati bahwa sebenarnya umat telah beberapa kali diingatkan agar tidak mempersulit sebuah perkara yang sebenarnya sederhana saja. Mengapa? Karena sebuah perkara sederhana, bahkan yang amat sederhana sekalipun, akan menjadi sulit dan pada akhirnya benar-benar mendatangkan kesulitan untuk dijalankan. Bahkan sebuah perkara halal, jika terlalu sering dipermasalahkan (dikutak-katik) pada akhirnya akan berubah menjadi sebuah perkara haram. Berikut ini beberapa nash (teks) yang menjelaskan tentang kondisi seperti ini:

1. Bani Israel yang meminta penjelasan tentang perintah untuk mencari sapi betina pada nabi Musa as.

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kaumnya, “Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami sebagai bahan ejekan?” Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.”
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepaa kami, sapi betina apakah itu?” Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu ialah sapi yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya?” Musa menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu ialah sapi yang berwarna kuning, yang kuning warnanya, dan menyenangkan orang-orang yang melihatnya.”
Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami, dan sesungguhnya, Insya Allah, akan beroleh petunjuk (untuk memperoleh sapi itu).”
Musa berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu ialah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.” Mereka berkata, “Sekarang barulah kamu menerangkan hakekat sapi betina itu sebenarnya.” Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.”
(Al Baqarah: 67-71).

Ibnu Juraij berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Mereka disuruh menyembelih sapi betina yang sederhana saja. Namun, tatkala mereka mempersulit, maka Allah pun mempersulit mereka. Demi Allah, seandainya mereka tidak membuat batasan, niscaya sapi itu tidak akan dijelaskan hingga akhir masa.”

2. Larangan Allah pada kaum Mukmin untuk banyak bertanya kepada Nabi saw mengenai perkara-perkara yang belum terjadi atau yang terlalu terperinci.

Apakah kamu hendak menanyai Rasulullah sebagaimana dahulu Musa ditanyai? Dan barangsiapa yang menukar keimanan dengan kekafiran, maka dia benar-benar tersesat dari jalan yang lurus.” (Al Baqarah: 108)

Penjelasannya:
“Apakah kamu hendak menanyai Rasulmu sebagaimana dahulu Musa ditanyai?” Firman ini berlaku bagi kaum muslim dan kaum kafir sebab Rasulullah saw merupakan utusan bagi semuanya, sebagaimana firman-Nya, “Ahli kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, “Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata!” Maka mereka disambar petir karena kezaliman mereka.” (lihat An Nisa: 153).

3. Larangan untuk banyak bertanya yang terlalu terperinci hingga mempersulit.

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan kepada (Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu, dan jika kamu menanyakan pada saat Al Quran itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.” (Al Ma’idah: 101).

Penjelasan: Yakni, apabila kamu menanyakan perinciannya setelah ayat itu diturunkan, niscaya ia akan menjelaskan kepadamu, dan janganlah kamu menanyakan suatu perkara yangbelum terjadi karena boleh jadi perkara itu akan diharamkan karena ditanyakan. Oleh karena itu, dalam hadits sahih dikatakan,

”Sesunggunya seorang muslim yang paling besar kejahatannya ialah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, kemudian menjadi diharamkan lantaran pertanyaannya tadi.”

Dalam shahihain, hadits dari Al-Mughfirah bin Syu’bah dikatakan bahwa Rasulullah saw berkata, ”Melarang banyak berkata begini dan begitu, menghambur-hamburkan harta, dan banyak bertanya.” (Bukhari dan Muslim)

Dalam shahih Muslim, dikatakan,“Biarlah aku dengar apa yang kutinggalkan untukmu, sebab binasanya orang-orang sebelum kamu ialah karena mereka banyak bertanya dan menentang (berselisih dengan) para nabi mereka. Apabila aku menyuruhmu sesuatu, maka kerjakanlah semampumu, dan jika aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah ia.”

Diriwayatkan di dalam “Ibnu Hibban” dari Hurairah bahwa Rasulullah saw telah berkhutbah di hadapan para sahabat: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan ibadah haji kepadamu maka hendaklah kalian berhaji.” Maka berdirilah seorang laki-laki , ia bertanya: “Apakah setiap tahun ya Rasulullah?” Rasulullah diam, sehingga si penanya mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Maka bersabdalah Rasulullah, “Jika kujawab ‘ya’ , maka ia menjadi wajib. Jika wajib, apakah kalian mampu?” Kemudian beliau saw bersabda lagi, “Mari dekati aku, apa yang akan kutinggalkan kepadamu. Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kamu karena banyaknya pertanyaan mereka dan pertikaian mereka terhadap Nabi-Nabi mereka. Maka apa yang aku perintahkan kepadamu laksanakanlah sekuatmu dan apa yang aku larang terhadapmu, tinggalkanlah. (HR Imam Ahmad, AS Syaikhain, Nasai dan Ibnu Majah).

4. Anjuran untuk meninggalkan Pertikaian yang membawa kehancuran.
Tercantum dalam shahih Muslim bahwa Abdullah ibnu Amru berkata: “suatu hari aku berhijrah kepada Rasulullah saw. Maka aku dengar suara dua orang laki-laki sedang bertengkar mengenai suatu ayat . Rasulullah keluar menemui kami. Terlihat di wajah (muka) beliau kemarahan karena mendengar pertengkaran itu. Kemudian beliau bersabda:
”Sesungguhnya telah hancur (binasa) orang-orang sebelum kamu karena pertikaian mereka mengenai kitab suci.” (HR Bukhari dari Ibnu Mas’ud ra dari Abdullah Ibnu Amru ra).

Dari uraian di atas, semoga sudah jelas bagi kita semua agar tidak mempersulit sesuatu yang sebenarnya sederhana saja, terlebih jika kita sendiri sebenarnya tidak menginginkan kesulitan itu pada akhirnya benar datang menimpa kita. Dan jika mengkaji sesuatu, hindarilah perdebatan yang bisa membawa kehancuran (perpecahan).

Untuk ukhti yang bertanya, sampaikan pada istri yang ada dalam cerita di email ukhti tersebut, bahwa ada baiknya dia berhenti berprasangka buruk pada suaminya sendiri dan pada dirinya sendiri.

Sudah jelas, dari awal, suaminya menerangkan pada sang istri tentang sebuah cabang pengetahuan dalam Islam. Pun sudah jelas pula bahwa suami mengucapkan kata cerai tersebut dalam kapasitasnya sebagai orang yang sedang menjelaskan. Lalu mengapa terus didesak dengan sebuah prasangka yang tidak-tidak? Terlebih sang suami sudah dengan tegas menjelaskan bahwa dia sama sekali tidak meniatkannya dan tetap merasa bahwa mereka masih dalam ikatan tali perkawinan (sebagai suami istri), lalu mengapa diragukan hanya karena hadirnya sebuah prasangka yang bukan-bukan?

Istighfarlah. Lakukanlah pertaubatan kepada Allah SWT dan mintalah maaf pada suami karena apa yang telah terjadi tersebut. Serulah sang istri tersebut untuk melembutkan hatinya dengan senantiasa mengingat Allah dan senantiasa tanpa jemu menjernihkan hatinya dengan membuang segala bentuk prasangka buruk dalam dirinya, baik yang ditujukan pada orang lain (dalam hal ini suami, mungkin karena cemburu atau perasaan takut ditinggalkan/dilupakan/disemena-menakan) maupun pada diri sendiri (terus merasa curiga dan khawatir yang berlebihan sehingga muncul pikiran yang tidak-tidak yang sebenarnya bisa membawanya untuk mendzalimi diri sendiri).

Jika masih ragu, silakan cari seorang hakim yang lebih kompeten dan adil untuk memberikan keputusan atas masalah tersebut (mungkin ulama atau ustadz atau petugas penyuluhan perkawinan). Tapi saran saya, masalah ini sebaiknya tidak usah lagi dperpanjang karena baik suami maupun istri tersebut sebenarnya sama sekali tidak menginginkan terjadinya perceraian (thalak) antara mereka.

Bangunlah komunikasi yang baik dan penuh rasa kasih dan sayang semata untuk meraih keridhaan Allah pada keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah.

Semoga bermanfaat.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ade Anita

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved