[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

Tiga Musuh Manusia
Oase Ilmu - Sunday, 29 May 2005

Kafemuslimah.com Kejahatan dan kebaikan merupakan pasangan setia yang tak dapat dipisahkan dari dunia. Keduanya tak jauh beda dengan “si kaya” dan “ “si miskin” : sama-sama ada, sama tak dapat saling menafikan. Karena semuanya merupakan sunnatullah yang tak mungkin dihapuskan. Otoritas manusia hanya sebatas mengurangi atau meminimalisir, tidak lebih.

Kejahatan merupakan musuh kebaikan. Otomatis dia adalah musuh fithrah manusia: yang cinta akan kedamaian dan keamanan. Namun, kejahatan itu ternyata sulit untuk dihindarkan, karena ia merupakan musuh abadi manusia, yang cinta kebenaran itu. Hal yang menjadikan kejahatan itu abadi, karena ia juga bersemayam dalam diri manusia. Itulah namanya musuh.
Yahya ibn Mu`âdz berkata: “Musuh manusia itu ada tiga: dunianya, syaitannya dan jiwa (nafsu)nya sendiri. Maka, berhati-hatilah dari dunia dengan zuhud di dalamnya, dari kejahatan syaitan dengan cara melawannya dan dari jiwa (nafsu) dengan cara meninggalkan segala bentuk syahwat” .

Itulah ketiga musuh manusia. Dan ketiganya adalah jahat, jika tidak dapat dihindari. Karena ketiganya akan mencelakakan manusia dan menyeretnya ke dalam neraka: yang (memang) disediakan bagi mereka yang menjadi budak (hamba) dunia, syaitan dan jiwa (nafsu)nya.

Dunia itu sangat berbahaya. Ia laksana ular: yang setiap saat dapat “memagut” orang yang terlena dalam pelukan dan dekapan kemilaunya. Dalam hadits di atas tampak gamblang, betapa dunia dapat menyihir pemujanya menjadi gelap mata dan lupa daratan. Pada gilirannya, ia menderita penyakit “wahn” . Ia terlalu banyak membangun istana di dalamnya. Sehingga, ia takut untuk meninggalkan istana megahnya itu, takut mati karena takut miskin di akhirat.

Islam bukan agama yang anti-dunia. Namun Islam adalah agama yang memberikan batas yang jelas antara agama (spiritual) dengan dunia (material). Islam adalah agama wasathiyah (pertengahan). Tidak melulu memikirkan akhirat, namun juga tidak serta merta menafikan urusan dunia. Dalam hal ini, tuntunan Allah sangat jelas dalam Al-Quran: “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia...” (Qs. Al-Qashash [28]: 77).

Menjadikan dunia sebagai “musuh” bukan berarti meninggalkannya seratus persen. Namun ambillah dan nikmatilah kenimatan dunia sebatas kebutuhan. Itulah yang diinginkan oleh agama. Bahkan dalam berbagai ayat Al-Quran, Allah menjelaskan urgensi berinfak (bersedekah). Sebut saja misalnya perintah berinfak (Qs. Al-Baqarah [2]: 195, 177 dan Qs. At-Taubah [9]: 60 dan 103) dan yang lainnya. Secara implisit, Allah menganjurkan agar umat Islam itu menjadi umat yang kaya. Sehingga orang lain dapat merasakan nikmat Allah juga, bukan kekayaan yang hanya dimonopoli oleh dirinya sendiri.

Musuh manusia yang kedua adalah syaitan. Dalam bahasa Al-Quran sering disebut dengan “`aduww mubîn” . Secara nyata Allah memang menjelaskan bahwa syaitan adalah “musuh yang nyata” bagi manusia (Qs. Yusuf [12]: 5 dan Qs. Al-Isrâ’ [17]: 53). Bahkan ia disebut sebagai musuh yang nyata-nyata menyesatkan (`aduww mudhill mubîn) (Qs. Al-Qashash [28]: 15). Maka ia harus benar-benar dijadikan sebagai “musuh” (Qs. Fâthir [35]: 6). Sejak zaman moyang manusia (Adam), syaitan memang musuh yang tidak akan pernah menyerah. Hal dijelaskan oleh Allah bahwa syaitan itu musuh Adam dan Hawa’ (Qs. Al-A`râf [7]: 22). Meskipun (memang) sudah menjadi sunnatullah bahwa setiap nabi diberi musuh dari kalangan syaitan berwujud manusia dan jin oleh Allah (Qs. Al-An`âm [6]: 112).

Oleh karena itu, Allah mewanti-wanti manusia (umat Islam) agar tidak mengikuti jejak (langkah)nya (Qs. Al-Baqarah [2]: 168, 208, dan Qs. Al-An`âm [6]: 142). Bahkan lebih tegas lagi Allah menyatakan agar tidak menyembah syaitan (Qs. Yâsin [36]: 60), agar tidak disesatkan olehnya (Qs. Az-Zukhruf [43]: 62). Jejak-jejak syaitan sudah dapat diterka dan ditebak. Segala jenis kemunkaran, maksiat, perjudian, perzinaan, kebohongan, korupsi, penipuan, penjambretan, perampokan, pemerkosaan dsb merupakan lahan tempat syaitan melancarkan misinya dalam menyesatkan manusia. Belum lagi fenomena tabarruj (wanita miskin busana) yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Kian hari kian membius aktivitas dan produktivitas para remaja Islam. Syaitan menginginkan agar pemuda Islam itu lemah akidah (iman), minim ibadah dan akhirnya mengenyampingkan Islam. Pada gilirannya, Islam tidak memiliki tempat di hati para pemeluknya. Sudah saatnya, dalam hati setiap Muslim berkobar semangat untuk “talak tiga” dengan pengaruh syaitan, agar tidak terjerumus dan terseret kepada rayuan gombalnya.

Musuh manusia yang ketiga adalah dirinya sendiri. Dalam bahasa agama, jiwa sering disebut dengan al-nafsu. Memang, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dua tipe nafsu yang saling berperang, al-fujûr dan al-taqwâ. Keduanya saling berlomba untuk mengalahkan yang lainnya. Bahkan Allah bersumpah dalam Kitab-Nya: “Dan demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (Qs. Asy-Syams [91]: 7-8). Dua potensi inilah yang harus dapat dimenej dengan baik. Dalam artian, potensi “kefasikan” jiwa harus benar-benar dapat ditekan, agar ia tidak menjadi potensial, sehingga dapat mengalahkan potensi “ketakwaannya”. Jika tidak, maka jiwa manusia akan cenderung berbuat kekufuran, kefasikan, kezaliman dan tindakan yang tidak dibenarkan oleh agama.

Maka, para ulama memberikan satu cara untuk membersihkan jiwa, agar terhindar dari potensi kefasikan yang dikenal dengan “tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Karena menurut Allah, orang yang beruntung adalah yang dapat menyucikan jiwanya. Sebaliknya, yang mengotori jiwanya (potensi kefasikannya mengalahkan potensi ketakwaannya) adalah orang yang merugi (Qs. Asy-Syams [91]: 9-10).

Para ulama memberikan contoh bahwa untuk mensucikan jiwa harus melakukan berbagai bentuk ibadah dan kebaikan. Seperti shalat malam (Witir dan Tahajjud), memperbanyak membaca Al-Quran, puasa sunat, banyak beristighfar kepada Allah dan senantiasa introspeksi diri (muhasabah). Sehingga akan semakin tampak bahwa apa yang kita persembahkan kepada Allah belum apa-apa jika dibandingkan dengan nikmat yang kita terima dari-Nya. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah yang benar-benar mengetahui kedudukan kita. Kedudukan yang menjadikan kita semakin arif dalam menyikapi hidup yang singkat. Hidup yang penuh dengan rintangan dan tantangan. Karena ternyata kita dikelilingi oleh banyak musuh yang merongrong kita: dunia, syaitan dan jiwa kita sendiri. Maka tidak ada bekal yang lebih baik selain takwa dan amal saleh. “Dan berbekallah, dan sebaik-baik bekal adalah takwa” (Qs. Al-Baqarah [2]: 197) dan “Barangsiapa yang ingin menemui Tuhannya, hendaklah ia beramal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (Qs. Al-Kahfi [18]: 110). Wallâhu a`lamu bi al-shawâb! (Cairo, 4 April 2005)

Ibnoe Dzulhadi

[ 0 komentar
]

© 2002-2009 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved