[utama] Alquran | Hadis Qudsi | Hadis Shahih Bukhari dan Muslim |Doa
[Kami] Kontak | Visi & Misi | Iklan | Link Bersama Kami
[ukhuwah] Webmail| Milis | Buku Tamu
HOME
Wanita Bertanya Ulama Menjawab
Uneq-Uneq
Resep
Profil Muslimah
Oase Ilmu
Muslimah & Media
Mari Menulis
Kisah Nabi
Kiat Muslimah
Jurnal Muslimah
Cantik & Sehat
Bisnis Muslimah
Agenda Muslimah

dBC Network
Tebar Jilbab - LP2i
Surat Dari POSO
Muslimah & Media - Wednesday, 08 June 2005

Kafemuslimah.com Surat itu ditulis di atas kertas bekas. Mungkin asalnya dari laporan paper seorang pelajar, atau laporan skripsi seorang Mahasiswa. Entahlah. Yang pasti surat itu begitu tampak sederhana. Tinta pulpen yang dipakai untuk menulisnya pun terlihat dua warna. Di paragraf pertama dan kedua, tinta yang dipakai berwarna hitam. Tapi mendekati akhir paragraf kedua, warna hitam tinta itu kian lama kian abu-abu dan akhirnya menjadi hitam tipis. Jadilah di paragraf ketiga warna hitam itu berubah warna menjadi warna biru. Beberapa kata yang di paragraf kedua tampak ditindih dengan warna biru dari tinta baru karena memang warna tinta hitam di paragraf sebelumnya sudah habis.

Isi suratnya langsung pada maksud tujuan. Tampaknya, orang yang menulis surat tersebut, bukan tipe orang yang senang berbasa-basi petatah peteteh memainkan kalimat untuk menyenangkan hati kawan pendengarnya. Bentuk tulisannya pun besar-besar dengan huruf kapital yang bertaburan di mana-mana di sepanjang badan surat tersebut. Kata orang, orang yang menulis dengan gaya seperti ini adalah cermin dari orang yang ingin minta diperhatikan. Warna kesabaran yang menipis tampak tercermin dari gaya menulisnya. Aura lelah dan jenuh pun terlukis dari gaya bahasanya.

Surat yang saya maksud dalam tulisan ini datang dari sahabat dan saudara kita dari Poso, Sulawesi Tengah. Saya sama sekali tidak mengenal dia sebelumnya, begitu juga dengan dia. Mungkin kita sebut permisalan, namanya Dewi (akhwat yang minta tidak ingin diketahui orang lain namanya). Dewi tahu nama saya dari teman saudaranya yang tinggal di Kalimantan (lalu saudaranya ini tahu nama dan alamat saya dari temannya yang lain yang tinggal di NTT), dan saya sama sekali tidak dapat gambaran siapa mereka-mereka yang dimaksud tersebut. Pendek cerita, Dewi akhirnya memutuskan untuk menulis surat pada saya dan saya amat bersyukur dipertemukan dengannya. Ada banyak ibrah yang saya pelajari dan petik dari perkenalan saya dengan Dewi. Alhamdulillah.

Dewi tinggal di pengungsian. Sebuah gudang beras milik koperasi. Beberapa tahun yang silam, Dewi punya rumah yang asri. Ada sebuah teras di depan rumahnya, tempat dia bermain bersama teman dan adik-adiknya jika matahari senja beranjak menuju peraduannya. Ada juga sebuah pohon buah-buahan yang sering dipanjat jika siang, ketika matahari bersinar amat terik. Ketika selesai shalat Isya, dia dan keluarga besarnya duduk bersila di lantai tengah rumahnya untuk menikmati makan malam bersama.

Memang tidak ada TV Plasma atau TV layar datar yang menghiasi ruang keluarga rumah mereka. Pun tidak ada Audio Player yang bisa memutarkan VCD untuk ditonton seluruh anggota keluarga, atau untuk sekedar berkaraoke. Tapi kebersamaan yang mesra tetap bisa terjalin di antara mereka. Senda gurau acap kali hadir di tengah-tengah mereka. Jika selesai shalat shubuh, ayah, memimpin anggota keluarga yang lainnya untuk membaca Al Quran. Lalu di malam hari setelah makan malam selesai, dibantu oleh ibu, ayah membantu anak-anaknya untuk mengerjakan PR.

Tapi kehidupan sering kali tidak selamanya bisa dipesan agar selalu indah. Dinamika kehidupan, sejatinya memang haruslah berubah-ubah seperti halnya roda pedati yang terus berputar. Karena dengan begitu manusia terpacu untuk mengembangkan kemampuannya untuk memperlihatkan eksistensinya pada orang lain. Hanya saja, siapapun, tentu menginginkan agar perubahan posisi roda kehidupan itu hanya berlangsung sesaat saja dan tidak pernah menyentuh lubang-lubang yang berlumpur dan tidak amat tidak nyaman. Dan itulah harapan dari Dewi dan keluarganya.

Sejak beberapa tahun yang lalu, ketika meletus kerusuhan antar warga masyarakat di POSO, kehidupan Dewi dan keluarganya telah ikut berubah secara drastis. Rumah yang nyaman untuk ditinggali, serta pohon buah-buahan yang senantiasa menjadi tempat bermain yang asyik harus mereka tinggalkan karena kerusuhan tersebut ternyata berkembang berlarut-larut. Bersama dengan puluhan tetangga dan sanak saudara mereka, Dewi dan keluarganya terpaksa harus berpindah-pindah tempat. Terkadang, dia tinggal di gudang beras milik koperasi Desa, terkadang tinggal di aula pertemuan sebuah sekolah negeri, atau seperti saat ini dimana dia tinggal di gudang beras milik DOLOG di kota kecamatan. Sekolah menjadi terganggu. Makanan pun sudah tidak bisa lagi dikontrol asupan gizi dan jadwalnya. Keceriaan mulai terasa menjauh.

Yang ada adalah rasa curiga antar sesama, karena barang-barang yang mereka miliki harus dipakai bersama. Yang ada adalah rasa marah karena kerusuhan yang terjadi telah mencerai-beraikan sanak saudara dan antara teman sepermainan. Yang ada adalah rasa jenuh karena hilangkan masa-masa indah untuk bermain dan bersenda gurau melepas penat di badan. Yang ada adalah rasa kecewa mengapa setelah penderitaan yang datang tiada henti tersebut, kerusuhan tetap saja terjadi.

Dengan sedih, Dewi bertutur dalam suratnya, bahwa di hari ulang tahunnya pun tak ada satu pun yang memberi ucapan selamat ulang tahun padanya. Jangankan bertambahnya umur seseorang, perubahan hari, tanggal dan bulan pun semua orang hampir merasa tidak peduli lagi. Hari-hari di pengungsian memang terasa tidak ada bedanya. Antri makanan, antri kamar mandi, antri dokter, dan juga antri air bersih. Dan akhirnya baju-baju yang dipakai oleh anak-anak pun mulai kekecilan sebagai tanda bahwa tubuh mereka mulai bertambah tinggi. Dan akhirnya, kain-kain yang dipakai oleh ibu-ibu pun mulai sobek sebagai tanda telah terlalu sering kain itu dililit dengan kencang membungkus tubuh. Dan akhirnya, sepatu dan sendal mulai kesempitan sebagai tanda telah amat panjang jalanan mencari kedamaian mereka lalui bersama.

Sedih.
Saya ikut sedih membaca tulisan Dewi. Air mata saya menetes menyimak penderitaannya.
Tak terbayangkan bagaimana menderitanya hidup sebagai pengungsi. Apalagi di tengah badai kerusuhan yang tidak jelas kapan akan berhenti. Masa depan menjadi tertutup kabut. Sukar dilihat apakah harapan masih bisa dipertahankan.

Dengan penuh semangat dan keikhlasan hati, saya mulai bergerak untuk memberikan bantuan. Tapi, jarak memisahkan kami. Dalam hal ini, pos udara adalah salah satunya alat yang bisa menjadi perantara. Tapi, apa yang terjadi kemudian. Di depan kantor pos, tertulis dengan jelas sebuah pengumuman:

“Berhubung situasi keamanan yang belum menentu di POSO, maka pengiriman surat atau paket pos udara ke daerah tersebut tidak dapat dilayani.”

Aih. Nun jauh di sana ada banyak saudara-saudara dan teman-teman kita yang terus menanti untuk sekedar dapat mengganti pakaian mereka yang telah usang. Nun jauh di sana banyak wajah-wajah kelelahan yang menanti sebuah perdamaian pada akhirnya bukan lagi sekedar sebuah impian.

Pada akhirnya, lantunan doalah yang bisa terpanjatkan. Sambil mencari celah untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih nyata lebih banyak lagi.
Lama.
Lama sekali doa itu terus terlantun. Hingga akhirnya satu minggu yang lalu sebuah bom kembali menggelegar di bumi POSO.

DAN KINI SAYA MENJADI AMAT MARAH.
BENAR-BENAR AMAT MARAH!!!


Kemana otak mereka yang berbuat onar tersebut? Tidak lelahkah mereka menciptakan kesengsaraan bagi masyarakat yang tidak berdosa? Tidak takutkah mereka jika orang-orang yang merasa terzhalimi itu menuntut mereka di sidang akbar di akherat kelak?

LALU SAYA KEMBALI MARAH.
DAN KALI INI BENAR-BENAR LEBIH MARAH LAGI!!!


Karena,salah satu tersangka pengebom itu berasal dari sebuah pesantren. Dan ketika polisi memburunya, dia menjadikan beberapa santri sebagai sandera untuk melindungi dirinya agar tidak ditembak polisi. PENGECUT!!! BIADAP!!! Dia benar-benar seseorang yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Jangankan memikirkan nasib berpuluh-puluh jiwa yang kini hidup terlunta-lunta di daerahnya, santrinya sendiri, anak-anak didik yang sedang diasuh dan dididiknya sebagai murid, dijadikannya sebagai tameng hidup untuk melindungi dirinya sendiri.

Astaghfirullah.
”Untuk Dewi dan semua saudara-saudaraku di POSO, semoga kesabaran senantiasa melimpah di hati kalian. Saya bisa merasakan kelelahan kalian di sana. Saya juga ikut merasakan rasa frustasi kalian pada mereka-mereka yang tidak berpihak pada kalian.”([email protected])

======== Jakarta, 8 Juni 2005
Allahumma, beri kedamaian dan kemakmuran bagi bumi Indonesia,
Allahumma, beri kemenangan dan kesejahteraan bagi Umat Islam.
Ammiin.

Penulis: Ade Anita


[ 0 komentar
]

© 2002-2011 Kafemuslimah.com
Please report any bug to [email protected]
All rights Reserved