|
Seorang Ibu Meninggal Saat Melahirkan, Syahidkah? Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Thursday, 09 June 2005
Kafemuslimah.com Pak Kyai Muhyidin Yang terhormat
Sebelumnya saya mohon maaf bila saya harus bertanya masalah ini kepada Bapak.
Saya mengenal Rahima lewat salah satu staf Rahima dalam salah satu pelatihan mengenai kesehatan reproduksi dan aborsi di puncak beberapa waktu lalu. Saya adalah seorang polwan di kabupaten Cianjur. Tugas saya sehari-hari mencatat pemberitaan mengenai berbagai kasus yang dilaporkan. Lewat surat ini saya hanya ingin meminta komentar dari pak Kyai tentang kasus yang saya hadapi.
Saya mendapatkan kasus dimana ada seorang bidan yang diancam hukuman penjara karena dianggap telah melakukan tindakan di luar hukum sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa seorang ibu yang ditolongnya. Sebelum melahirkan, pasien si bidan sudah mengatakan bahwa dia mendapat saran dari dokter di rumah sakit -dimana dia biasa konsultasi- jika hendak melahirkan maka sebaiknya dengan jalan caesar karena pinggul si pasien terlalu sempit. Akan tetapi ketika si pasien ke bidan tersebut, bidan menyatakan bahwa si pasien bisa melahirkan secara normal. Akan tetapi ternyata proses kelahiran mengalami kesulitan dan baru pada saat itu bidan merujuk salah satu rumah sakit terdekat untuk melakukan operasi. Sayangnya, dalam perjalanan si ibu tidak dapat ditolong lagi dan meninggal karena kehabisan darah.
Pertanyaan saya;
1. Apakah si ibu dapat dikatakan mati syahid?
2. Jika dalam undang-undang negara si bidan
jelas dianggap bersalah dan diancam
penjara, lalu bagaimanakah jika pak kyai
melihatnya dalam hukum Islam?
3.Jika memang si bidan terbukti bersalah,
apakah dalam Islam dia bisa mengganti hukuman tersebut hanya dengan denda (diyat)? Demikian, terima kasih
DW, Cianjur
Jawaban
Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuknya yang paling sempurna. Tidak ada makhluk yang lebih sempurna dari manusia, baik susunan biologisnya, maupun dari anugrah akal dan nafsu yang diberikan kepada manusia. Allah SWT berfirman: “Sungguh kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna” (QS Al-Tin;4). Karena itulah Allah memuliakan manusia melebihi makhluknya yang lain. Manusia menjadi makhluk Allah SWT yang paling mulia, Allah SWT berfirman: “Sungguh telah kami muliakan anak cucu Adam” (QS Al Isra;70)
Untuk menjaga kemuliaan manusia, Allah memerintahkan manusia untuk menjaga derajat kemanusiaannya yang sangat agung ini. Menjauhkan dirinya dari segala hal yang menghancurkan ataupun merendahkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Inilah yang dimaksud dengan Hifd al-Nafs yang merupakan salah satu prinsip utama dalam agama Islam. Masuk dalam kategori Hifd Al-Nafs ini adanya larangan untuk membunuh sesamanya. Allah SWT melarang pembunuhan dan mengancam pelakunya dengan neraka jahanam. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, di sana mereka kekal selamanya. Dan Allah murka dan melaknat serta menjanjikan dengan siksa yang sangat pedih.” (QS.Al-Nisa;93)
Berkaitan dengan kasus yang diutarakan ibu DW di atas, si calon ibu memang dapat dikatakan mati syahid karena meninggalnya memang dalam memperjuangkan kelahiran bayinya. Akan tetapi langkah pencegahan menghindari kematian si calon ibu akan lebih baik, apalagi jika kasus kematian si calon ibu tersebut berkaitan dengan upaya yang dilakukan dokter atau bidan yang menolongnya. Untuk hal pertanyaan yang kedua, dengan naluri kemanusiaan, saya mencoba berbaik sangka (husnudz dzon ) bahwa sesungguhnya semua yang sudah dilakukan adalah bagian dari usaha atau ikhtiar bidan dan calon ibu itu sendiri untuk mencoba melahirkan secara normal, karena mungkin pertimbangan melahirkan caesar akan meminta biaya lebih mahal atau alasan lainnya. Mungkin si bidan merasa yakin karena pernah memiliki pengalaman bahwa dengan kondisi pasien yang sama masih memungkinkan terjadi kelahiran normal. Saya menduga bahwa bidan tersebut tidak berniat sama sekali untuk melakukan pembunuhan terhadap si ibu apalagi kepada bayinya. Apalagi jika kita pertimbangkan juga faktor lain di luar bidan misalnya keputusan si calon ibu dan keluarga si calon ibu. Karena ikhtiar atau usaha sang bidan juga tidak terlepas dari ikhtiar si calon ibu yang menerima untuk tetap melahirkan normal, juga usaha keluarga calon ibu yang memutuskan tidak membawa si calon ibu ke dokter sebelumnya walaupun si dokter telah menyatakan bahwa si calon ibu harus melahirkan melalui caesar.
Adapun jika dalam undang-undang kepolisian ia dinyatakan bersalah karena kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, maka dalam hukum Islam juga dikenal hukuman karena sebab yang sama yang disebut Al-Qatl Al-Khata’.
Karena dalam Islam konteks pembunuhan menurut ulama fiqh ada 3 bentuk : Al-Qatl-Al Amdu, yakni pembunuhan yang disengaja dan terencana dan dilakukan dengan media yang memang digunakan untuk membunuh seperti pisau, parang panah dan semacamnya. Kedua, Al Qatl Sibhu al-Amdi yaitu seseorang yang berniat membunuh, tapi tidak menggunakan alat yang mematikan. Ketiga, Al-Qatl Al Khatha’ yaitu pembunuhan yang tidak disengaja serta tidak direncanakan, bisa jadi karena salah sasaran atau keteledoran si pelaku (DR. Wahbah Al-Zuhaili, Al Fiqh al-Islami wa adillatuhu, VI, 216-218)
Dalam Islam, semua pelaku tetap mendapatkan sanksi, apapun bentuk dan motif pembunuhan yang terjadi, yang berbeda adalah bentuk hukuman atau sanksi yang akan diberikan.
Terkait dengan kasus di atas, perlu dilihat juga apakah bidan itu termasuk seorang ahli atau tidak. Kalau memang ia seorang ahli dan tidak ada keteledoran dalam menangani pasiennya, maka bidan tersebut tidak dapat dipersalahkan. Persoalan baru terjadi bila bidan itu tidak profesional, atau terjadi kesalahan ketika menangani pasiennya, untuk itulah si bidan dapat dinyatakan bersalah. Karena telah melakukan tindakan yang beresiko menghilangkan nyawa seseorang. Ia telah lalai dan kurang hati-hati dalam menangani pasiennya. Apalagi ia telah diberitahu tentang hal tersebut oleh pihak yang lebih ahli.
Bila digolongkan pada tiga jenis pembunuhan, maka tindakan si bidan masuk kepada kategori yang ketiga, yakni pembunuhan yang terjadi karena kesalahan dan keteledoran (al-Qatl Al khata’). Maka hukumannya adalah denda. Ulama fiqh mengatakan bahwa selama pembunuhan itu dilakukan tanpa ada kesengajaan, maka pelakunya tidak bisa dihukum qishas (hukuman mati). Tapi ada tiga alternatif hukuman yang dapat diberikan, yakni denda (diyat) yaitu mengganti dengan harta yang telah ditentukan, kafarat (tebusan yang ketentuannya telah diatur oleh agama), atau ta’zir (hukuman yang merupakan kebijakan dari penguasa, misalnya dipenjara, diasingkan atau lainnya. (DR. Wahbah Al-Zuhaili, Al Nadhbariyah Al Fiqhiyyah, 51). Jadi, dalam Islam denda itu bukan merupakan hukuman pengganti tetapi merupakan alternatif hukuman yang dapat diberikan kepada bidan tersebut untuk diserahkan kepada pihak yang berwenang. Wallahu a’lam!]
diambil dari: www.rahima.or.id, rubrik tanya jawab Asuhan KH. Muhyidin
[ 0 komentar]
|
|