|
Islamis Bukan Ekstrimis Oase Ilmu - Wednesday, 19 October 2005
Kafemuslimah.com Saya sangat terkejut ketika membaca artikel bung Pradana Boy, Liberalized Autocracy Dunia Arab, yang di muat Republika 17 Juni lalu. Bung Pradana dengan sangat gegabah, tidak kritis terhadap kutipan yang dia ambil, menyamakan kalangan Islamis (aktivis Islam/Islamiyyun) sebagai kelompok Islam radikal, anti demokrasi dan menyukai kekerasan. Sebagai seorang Islamis, saya merasa keberatan dengan anggapan-anggapan seperti itu.
Untuk membicarakan masalah "islamis" ini, alangkah naifnya tidak mengikutsertakan jamaah Ikhawanul Muslimin, yang menurut Prof. Ishaq Husaini (peneliti independen dari Libanon) dalam bukunya Al Ikhwan Al Muslimun, sebagai jamaah Islam terbesar di dunia dan terkaya di Timur Tengah. Apakah Islamis Ikhwanul Muslimin disebut sebagai Islam Radikal, anti demokrasi dan menyukai kekerasan? Dari yang saya amati, dan saya pelajari tentang Ikhwanul Muslimin saat ini, mereka adalah orang-orang yang cinta damai, berdakwah dengan akhlak terpuji, terlibat dalam aktivitas sosial dan kebudayaan, mendirikan kongsi-kongsi perdagangan, turut serta dalam proses demokrasi (sebagaimana terjadi pada saat ini mereka terlibat dalam gerakan "kafiyah"). Jika pun mereka mengatakan perlu mengangkat senjata melawan Zionis Israel. Hal itu terjadi karena rakyat Palestina telah ditindas, dijajah, dan dizhalimi oleh pihak Israel. Apakah lantas kita tidak menggunakan kekerasan untuk menghadapinya? Apakah kita hanya berdiam diri menghadapinya? Keras (tegas) itu pada tempatnya, sesuai dengan situasi dan kondisi dan juga sesuai dengan tuntunan Al Quran dan As Sunnah bukan menggunakan hawa nafsu.
Prof. Se’ed Ibrahim (Sosiolog independen terkenal di Mesir) telah mengadakan penelitian tentang para Islamis (kebanyakan dari mereka aktivis Ikhwanul Muslimin) langsung di penjara-penjara Mesir. Pada saat itu sendiri beliau dijebloskan ke dalam penjara karena menentang pemerintahan otoriter Hosni Mubarak. Menurutnya, selama ini pihak Barat telah salah kaprah menyebut para Islamis sebagai Muslim radikal. Prof. Se’ed lebih menyukai menyebut mereka sebagai muslim yang memiliki militansi tinggi. Menurut Prof Saed (dari hasil wawancara), mereka pada hakikatnya tidak menyukai kekerasan dalam menjalani manhaj Ideologi mereka.
Alangkah baiknya kita juga mau membaca pandangan Prof. Yusuf Al Qaradhawi – yang merupakan tokoh teras Jamaah Ikhwanul Muslimin saat ini – yang mengatakan bahwa tidak mengapa seorang muslim mengikuti proses demokrasi dengan syarat: pertama, partisipasi tersebut terwujud dalam perbuatan, bukan hanya perkataan ataupun pengakuan. Sehingga, membuatnya mampu menegakkan keadilan dan kebenaran serta menghapuskan kezaliman dan kebatilan, walaupun tidak menyeluruh. Kedua, tidak melakukan kezhaliman atau turut serta dalam kezhaliman. Ketiga, adanya hak untuk menentang semua yang tidak sesuai dengan ajran Islam, atau paling tidak mengkritiknya. Dan keempat, melakukan introspeksi, apakah aktivitas muslim dapat mengambil faedah dari percobaan tersebut atau tidak? Apakah mereka mewujudkan cita-cita mereka dalam menegakkan keadilan dan maslahat? Sejauh mana semua itu terlaksana? (Lihat Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jil. 3, hlm. 555-556).
Dari sini, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa setiap aktivitas muslim dalam proses demokrasi adalah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta menghapuskan kezhaliman. Bukan karena hanya ingin meraih kekuasaan. Kekuasaan hanya sebagai alat bantu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Sudah sepantasnya umat Islam tidak hanya membebek pada demokrasi Barat. Kita juga dapat mengkritisinya dan membuat demokrasi yang tidak bertentangan dengan keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya, tanpa menuntup-nutupi kebenaran dan tanpa menjadi orang yang munafik. Alangkah baiknya saya kutipkan disini ucapan dua orang Muslim Iran ketika George Bush mengkritik demokrasi di negara mereka: "Kami disini justru mempunyai tujuh kandidat yang mencerminkan kecenderungan di Iran sementara AS hanya mempunyai dua atau tiga kandidat dan itu pun mereka harus terlebih dulu menjadi Demokrat atau Republik agar bisa dipilih." "Sementara AS selama ini selalu mempertontonkan kebiasaan mereka yang hanya peduli kepada kepentingan penguasa tiran dan tidak kepada rakyatnya." (Republika, 18 Juni 2005).
Oleh karena itu, kepada siapapun yang menuduh para islamis dengan gelar-gelar buruk, hendaknya mereka jangan hanya pandai membaca buku-buku sekunder tetapi juga pandai membaca buku-buku realitas dari Islamis itu sendiri.
Chandra Kurniawan
http://penulis-muda.blogdrive.com/ ini telah saya kirim ke reda [ 0 komentar]
|
|